Menyoal Perempuan di Hari Aksara Internasional

Hari Aksara Internasional diperingati setiap tanggal 8 September melalui Konferensi UNESCO di tahun 1966. Sejak tahun tersebut misi dunia untuk mengetaskan buta huruf secara serius digencarkan. Kini, 52 tahun sudah setiap tahun tahunnya UNESCO memperingatinya termasuk negara anggotanya. Indonesia yang termasuk di dalamnya turut serta berupaya dan berkomitmen meningkatkan melek aksara secara nasional. Tema yang diangkat secara internasional tahun ini adalah “Literacy and Skill Development” sedangkan dalam lingkup nasional pemerintah terfokus pada tema “Mengembangkan Keterampilan Literasi yang Berbudaya” dengan harapan melihat jenis keterampilan keaksaraan yang dibutuhkan dalam menavigasi masyarakat dan mengeksplorasi kebijakan keaksaraan yang efektif (gln.kemdikbud).

Jika melihat berita di media daring yang berseliweran, di tengah arus isu perlawanan terhadap berita hoax. Terdapat pemberitaan yang cukup membahagiakan: foto anak-anak sekolah bersalam literasi dengan petugas. Itu artinya agenda menyoal kedekatan pada budaya literasi sedang digalakkan. Program Gerakan Literasi Nasional (GLN) memang sedang digencarkan pemerintah baik secara daring maupun laring. Bisa jadi agenda tersebut merupakan jawaban dari upaya keras dalam komitmen mengentaskan buta aksara secara nasional selama 52 tahun ini. Pemerintah atau khususnya kemdikbud yang bertanggungjawab dalam misi mulia tersebut berhasilkah? pada tahun 2017 menurut situs kemendikbud.go.id  dari data yang terhimpun  Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan 97,93% penduduk telah melek aksara atau tinggal sekitar 2,07 persen atau 3.387.035 jiwa (usia 15-59 tahun) yang belum melek aksara. Dari data tersebut dapat dikatakan kemekdibud berhasil meningkatkan melek aksara. Namun yang menjadi perhatian adalah berapa persentase antara perempuan dan laki-laki yang melek aksara, bagaimana pengaruhnya jika perempuan lebih banyak yang buta aksara?

Menurut kemdikbud jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, tampak bahwa perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yakni 1.157.703 orang laki-laki, dan perempuan 2.258.990 orang. Itu artinya dua kali lipatnya laki-laki. Ketertinggalan perempuan dalam melek aksara ini diduga dipengaruhi faktor budaya patriarki seperti beberapa daerah yang masih mengedepankan laki-laki dalam hal pendidikan sehingga munculnya rasa keterbatasan pada diri perempuan. Selain itu motivasi diri yang rendah membuat perempuan merasa cukup dengan hidup melayani pasangannya. Kemdikbud menyebutkan perempuan yang buta aksara berkisar pada usia 45 ke atas. Artinya perempuan tersebut banyak yang sudah menjadi Ibu. Seorang ‘Ibu’ adalah guru pertama bagi anak-anaknya yang menjadi panutan anak-anaknya. Kemampuan membacanya akan mempengaruhi pola pikirnya dalam mengasuh anak-anaknya. Perempuan yang buta aksara akan berdampak pada generasi selanjutnya, karena perempuanlah yang membangun peradaban melalui perannya di keluarga. Kita tidak berbicara tentang perempuan yang berada di ranah public tapi kita berbicara tentang peran perempuan di ranah domestik, peran yang dominan dimiliki perempuan nusantara terutama di daerah tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia.

Mendukung Gerakan Literasi Nasional khususnya pada perempuan merupakan usaha kita untuk sama-sama peduli pada sesama. Mengentaskan buta aksara bukan hanya tugas pemerintah tetapi tugas setiap warga negara yang mengaku cinta negaranya. Menyetir ujaran Do locally think Globally adalah berbuat sekecil apapun dengan visi yang melampaui. Kembali ke daerah jika melihat potensi kebaikan yang lebih besar dalam memajukan hak-hak perempuan adalah contoh solusi untuk mewujudkan pemerdayaan perempuan. (Ely Rusliawati / Divisi Pemberdayaan Perempuan Bidang Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan  Anak)

Leave A Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Accessibility Toolbar