Mengenal Lebih Dekat Down Syndrome bersama HMP dan POTADS

Tanggal 21 Maret diperingati sebagai hari Down Syndrome sedunia. Penetapan hari Down Syndrome sedunia dimulai sejak tahun 2006 oleh Lembaga Down Syndrome Internasional dan WHO. Majelis Umum PBB menyatakan secara resmi penetapan hari Down Syndrome pada tahun 2012 melalui resolusi A/RES/66/149. Resolusi tersebut berisi ajakan kepada seluruh organisasi dan lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap Down Syndrome. Departemen PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) HMP memperingati hari Down Syndrome sedunia dengan berkunjung ke sekretariat Yayasan POTADS (Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome) Yogyakarta.

Ibu Sri Rejeki Ekasasi, ketua POTADS wilayah Yogyakarta yang sering disapa Ibu Kiki menyambut kedatangan HMP dengan sangat ramah. Ibu Kiki awalnya tidak menyangka akan menjadi ketua POTADS Yogyakarta karena sudah sekitar 10 tahun meninggalkan Indonesia untuk menuntut ilmu ke negeri Kanguru. Kesulitan-kesulitan diawal berdirinya POTADS Yogyakarta tidak meluruhkan niat para perintisnya. Sejak tahun 2010, POTADS Yogyakarta berjalan hanya dengan 3 orang Ibu yang memiliki anak dengan Down Syndrome dan bertambah 1 ibu lagi di tahun 2011. Waktu itu nama komunitasnya adalah ADSY (Asosiasi Down Syndrome Yogyakarta). Keempat ibu tersebut terus menerus mengajak masyarakat untuk mengenal lebih dekat keberadaan anak-anak dengan Down Syndrome.

Pada tahun 2013 keempat ibu tersebut bergabung dan ikut mengurusi POTADS Yogyakarta dengan persetujuan POTADS Pusat (Jakarta).   Mulai tahun itu pula keempat ibu tersebut setiap tahunnya mengadakan peringatan hari Down Syndrome sedunia di bulan Maret  dan memperingati bulan peduli Down syndrome (Down syndrome awareness month) di bulan Oktober.  Selain itu untuk membangkitkan semangat kebangsaan serta menyadarkan masyarakat bahwa anak Down syndrome juga bisa turut serta mengisi kemerdekaan dengan kemampuan mereka, setiap bulan Agustus POTADS Yogyakarta merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia bersama-sama dengan masyarakat luas.

Setelah hampir 6 tahun, POTADS Yogyakarta kini sudah memiliki lebih dari 50 anggota dan 9 pengurus serta tak terhitung relawan yang membantu menginformasikan tentang Down syndrome dan mengelola kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan Down syndrome. POTADS Yogyakarta juga membantu Dinas Sosial untuk pendataan anak-anak dengan Down Syndrome di sekolah-sekolah inklusi ataupun Sekolah Luar Biasa (SLB) dan secara rutin mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan Down syndrome. Bahkan beberapa tahun terakhir, acara peringatan Down Syndrome yang diselenggarakan POTADS Yogyakarta mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kota dan Pengageng Puro Pakualaman Yogyakarta.

Apa itu Down Syndrome?

Down Syndrome atau Sindroma Down, dikenal dengan Trisomi 21 merupakan sekumpulan gejala akibat kelainan kromosom yang berlipat 3 pada kromosom ke 21 yang terjadi seluruhnya atau sebagian. Maka dari itu, hari Down Syndrome diperingati setiap tanggal 21 di  bulan Maret. Down Syndrome ditunjukkan dengan adanya gangguan pada kemampuan intelektual dan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Kemampuan IQ anak Down Syndrome berada dalam rentang 20 sampai 69, yang dapat berbeda berdasarkan tingkat keparahan sindroma yang dimiliki anak. Literatur medis tentang Down Syndrome ditulis pertama kali oleh John Langdon Down sekitar tahun 1860-an, dengan sebutan awal ‘Mongolian’ yang kini menjadi Down Syndrome di ambil dari nama John Langdon Down.

Anak-anak dengan Down Syndrome mengalami banyak gangguan fisik dari tingkat ringan sampai berat. Lebih dari 80% anak-anak dengan Down Syndrome mengalami gangguan atau kehilangan pendengaran. Banyak anak dengan Down Syndrome yang harus menggunakan kacamata sejak usia dini karena menderita katarak dan strabismus (mata juling) yang membutuhkan operasi untuk menurunkan gangguan penglihatannya. Fungsi tiroid juga mengalami penurunan (Hypotyroidism) yang memberikan dampak berkurangnya energi, gagal untuk berkembang, dan gangguan kognitif.

Selain itu, anak akan mengalami ketidakseimbangan 2 tulang belakang teratas yaitu pada leher atau sering disebut Atlanto-axial instability, yang berdampak pada gangguan saraf tulang belakang. Sehingga, anak akan memiliki komplikasi seperti nyeri leher, gangguan pergerakan leher, perubahan gaya berjalan, kehilangan kontrol untuk buang air kecil atau buang air besar, dan anak akan kehilangan keterampilan motorik. Anak dengan Down Syndrome juga mengalami kelemahan otot sehingga sulit untuk mempertahankan posisi tubuh dan mengubah posisi tubuh.

Gangguan yang paling sering terjadi yaitu infeksi saluran pernafasan seperti batuk flu dan lemahnya sistem imun. Gangguan seperti ini dapat menyebabkan anak menjadi kejang bahkan sampai mengalami hipoksia karena kurangnya asupan oksigen ke otak akibat penyempitan jalan nafas sehingga dapat mengancam nyawa.

Bisakah Down Syndrome dideteksi sejak dini?

Down Syndrome dapat dideteksi sejak Ibu hamil pada saat pemeriksaan kehamilan pertama kali di trimester pertama. Pemeriksaan abnormalitas kromosom sering disebut dengan skrining aneuploidi, dapat dilakukan dengan pemerikasaan laboratorium dengan nuchal translucency atau ultrasonografi/USG, pemeriksaan invasif dengan chorionic villus sampling atau amniosintesis, atau pemeriksaan non invasif dengan cell free fetal DNA (cffDNA). Adapun ibu-ibu yang hamil pada usia 35 tahun ke atas berisiko memiliki anak dengan kelainan kromosom.

Apa yang harus dilakukan ketika mengetahui anak mengalami Down Syndrome?

Apabila hasil deteksi kehamilan diketahui anak berpotensi mengalami kelainan kromosom tentu tidak semua orang tua dapat menerima kondisi tersebut. Pemberi layanan kesehatan pada umumnya akan mengembalikan keputusan kepada ibu dan suaminya/wali untuk memilih ‘melanjutkan’ atau ‘mengakhiri’ kehamilan. Pengambilan keputusan dipengaruhi banyak faktor, terutama keyakinan akan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa, budaya, pertimbangan kemampuan keluarga untuk menangani kondisi kesehatan dan gangguan pada anak yang pasti akan terjadi di masa depan.

Pemberi layanan kesehatan akan mengalami dilema etik untuk mengambil keputusan apakah akan mengakhiri atau melanjutkan kehamilan ibu. Oleh karena itu penting untuk memberikan informasi dengan sebenar-benarnya dan memberikan ruang kepada keluarga untuk berbagi pengalaman kepada orangtua dari anak-anak lainnya dengan Down Syndrome. Disinilah peran penting pemberi layanan kesehatan dan POTADS untuk memberikan dukungan informasi dan sosial yang sering kali tidak didapatkan.

Apabila anak diketahui mengalami Down Syndrome setelah kelahiran, pada umumnya keluarga akan mengalami penolakan. Ibu sering kali dijadikan pelampiasan kekecewaan akan hadirnya anak Down Syndrome, bagaimana merawat kesehatan anak yang buruk ditambah lagi rasa malu karena harus menerima stigma negatif dari keluarga dan masyarakat.

Penolakan demi penolakan yang diterima anak Down Syndrome dimulai dari orangtua, saudara, keluarga besar, masyarakat yang sering kali memberikan tatapan atau mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati, seakan-akan anak Down Syndrome tidak mengerti maksud ucapan tersebut. Dampaknya, anak Down Syndrome akan menjadi tidak percaya diri dan terkurung dalam kehidupan yang kelam, karena sebagian keluarga menyembunyikan kehadiran anak karena malu. Padahal anak butuh untuk terapi rutin agar menjaga kemampuan motorik, anak butuh dukungan kepercayaan bahwa anak mampu untuk berkembang meskipun butuh waktu dan usaha yang lebih banyak.

Dukungan apa yang dapat kita berikan pada anak-anak Down Syndrome?

Anak Down Syndrome juga manusia yang sama seperti anak-anak lainnya. Anak Down Syndrome tidak mampu berbahasa sebaik anak yang lain bukan berarti tidak memahami bahasa kita dan bukan berarti anak tidak memiliki perasaan tersakiti dan marah. Hal yang perlu menjadi kesadaran bahwa anak Down Syndrome tidak pernah menginginkan untuk terlahir dengan semua keterbatasannya.

Mirza, anak Down Syndrome yang berusia 21 tahun dan pada tahun ini akan menyelesaikan pendidikan SMA nya di salah satu sekolah inklusi Yogyakarta. Mirza menyampaikan pesannya kepada masyarakat untuk berhenti menghina mereka karena itu menyakiti hatinya. Mirza mengatakan bahwa dia berkeinginan untuk lanjut kuliah, namun di Indonesia tidak ada atau belum ada Universitas yang mau menerima anak-anak seperti dirinya. Mirza ingin membuka lapangan pekerjaan yang mampu menampung anak-anak Down Syndrome.

Mirza menunjukkan keinginannya dengan terus berkarya dan mengasah kemampuannya. Kini Mirza memiliki kemampuan untuk menari, menggambar dan melukis, merakit robot/mainan dari kardus dan barang bekas, dan bahkan memasak. Mirza seperti anak-anak Down Syndrome lainnya memiliki kesempatan untuk hidup normal dan berkualitas tapi membutuhkan dukungan dari kita semua.

Mirza beruntung karena memiliki keluarga yang mampu secara finansial dan memberikan dukungan penuh untuk mengaktualisasikan diri. Salah satu dukungan yang diberikan keluarga pada Mirza dan anak-anak Down Syndrome lain adalah dengan dibangunnya Mirza’s House sebagai Down Syndrome Business Development and Training Centre yang akan diresmikan pada 21 Maret 2018. Mirza’s House nantinya akan menjadi sekretariat POTADS wilayah Yogyakarta yang baru dan dapat digunakan untuk semua kegiatan yang mengatasnamakan Down Syndrome.

Dukungan yang diharapkan orang tua dari anak dengan Down Syndrome disampaikan melalui HMP oleh Ibu Kiki, yang diharapkan dapat mewakili harapan orang tua anak-anak dengan Down Syndrome lain. “Memiliki anak dengan Down Syndrome dan semua keterbatasan yang ada biarlah menjadi beban keluarga kami sendiri. Stop menghakimi kami dengan stigma-stigma negatif, stop menghina anak kami dengan tatapan kasihan, jangan usir anak kami, cukup tinggalkan dan diam. Itu saja sudah cukup membantu kami untuk menjaga perasaan anak-anak kami”. Anak-anak Down Syndrome diciptakan Tuhan Yang Maha Esa bersama kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, dan kita harus mampu memunculkan dan mengoptimalkan kelebihan-kelebihan tersebut. Sebagaimana slogan POTADS yang menggambarkan perasaan anak-anak dengan Down Syndrome yaitu “AKU ADA, AKU BISA”.

HMP berharap dengan diperingatinya hari Down Syndrome sedunia memberikan kita kesadaran bahwa anak Down Syndrome bukan anak yang butuh belas kasihan. Anak Down Syndrome butuh kepercayaan dan dukungan sosial dari kita. Mengutip istilah Roem Topatimasang dan Munif Chatib, “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru”, dan “pendidikan harus mampu memanusiakan manusia”. Maka mari kita menjadi guru bagi anak-anak dengan Down Syndrome yang memanusiakan manusia.

Ditulis oleh: Nurhannifah Rizky Tampubolon

Ketua Departemen Perlindungan Anak

Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)

Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada

 

 

Sumber bacaan

Bunt, C. W., & Bunt, S. K. (2014). Role of the family physician in the care of children with down syndrome. American Family Physician, 90(12), 851–858.

Faragher, R., & Clarke, B. (2014). Educating Learners with Down Syndrome. New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Hens, K. (2018). Chromosome Screening Using Noninvasive Prenatal Testing Beyond Trisomy-21: What to Screen for and Why It Matters. The Journal of Medicine and Philosophy: A Forum for Bioethics and Philosophy of Medicine, 43(1), 8–21. https://doi.org/10.1093/jmp/jhx030

Tags: HMP UGM POTADS

Leave A Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Accessibility Toolbar