“Merdeka hanyalah suatu jembatan, meskipun jembatan emas, diseberang jembatan itu jalan berbagi menjadi dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu kedunia sama ratap sama tangis.”Ungkapan Bung Karno tersebut dapat dijadikan sebagai refleksi kemerdekaan Indonesia kali ini.
Kemerdekaan yang digelorakan 17 Agustus 1945, tepat 72 tahun silam, memang menjadi momen penting dalam sejarah bangsa ini. Sehingga menjadi wajar jika setiap tahunnya diperingati dan dirayakan. Namun perlu diingat, kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, karena ia hanyalah mukaddimah, “jembatan emas” untuk mewujudkan yang apa yang disebut Bung Karno sebagai, “sama rata”, atau sebaliknya, “sama ratap”.
72 tahun kita merdeka, bukan waktu yang singkat, tapi predikat sebagai “negera berkembang” masih tetap setia melekat sebagai predikat. Kesenjangan sosial masih menganga lebar, konfik terjadi di mana-mana, dan mentalitas inferior yg belum juga hilang. Bangsa Korea yang seumur kita, dan Singapura yang justru belakangan meraih kemerdekaannya (1965), telah bangkit menjadi negara maju. Demikian pula Malaysia (1957) dan Vietnam (1945) yang jauh lebih berkembang dibanding Indonesia.
Merdeka atau Bebas?
Jika masih ada rasionalitas dalam diri, maka kita akan bertanya, mengapa negara-negara yang hampir seusia, dan bahkan lebih muda dari Indonesia jauh lebih berkembang? Apa masalah negeri ini?
Dalam hemat dangkal saya, pertama-tama yang perlu diluruskan adalah apa yang dimaksud dengan kemerdekaan. Kadang kita keliru memahami merdeka dan bebas, sehingga kedua kata ini disamakan maknanya. Indonesia memang telah bebas dari kolonialisasi, tapi bukan berarti telah merdeka, karena seperti kata Bung Hatta, bahwa kemerdekaan selalu mensyaratkan kemakmuran rakyat.
Bebas berarti hilangnya tekanan dari pihak lain. Lawannya ialah terikat, terpenjara atau tertekan, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Namun, bebas tidak mengindikasikan tujuan (ideal). Sedangkan, kemerdekaan selalu mensyarakat bebas yang bertujuan. Tujuannya tentu saja, sebagaimana ditegaskan oleh founding fathers kita, yaitu, menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun untuk mencapi cita-cita “keadilan sosial dan kesejahreraan rakyat”.
Merdeka 100%
Sejak awal kemerdekaan,Tan Malaka, sang tokoh bangsa, sudah mengatakan bahwa Indonesia harus merdeka 100%. Ini tak dapat ditawar apalagi dinego. Kalimat ini pun dilontarkan langsung dari mulutnya kepada Soekarno. Ketika itu, tepat pada tanggal 24 Januari 1946, sekitar lima bulan pasca proklamasi, Bung Karno yang sedang duduk bercengkrama bersama sahabatnya, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Agus Salim, tiba kedatangan seorang tamu yang tidak lain adalah Tan Malaka.
Pada pertemuan itu, Ia mengingatkan bahwa, kemerdekaan yang telah diperjuangkan masihlah milik kaum elit, bukan milik mayoritas petani dan rakyat miskin. Seperti dikatakannya, “…kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100%. Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka cita menjadi ambtenar…kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat”.
Syahdan, kalimat Tan Malaka seperti belati yang menghujam dada keempat sahabat tersebut. Bahkan, sejak saat itu, Bung Karno tidak lagi pernah menyebut nama Tan Malaka dalam pidato-pidatonya karena merasa sikap kerakyatannya diremehkan. Namun, kalimat Tan Malaka telah berbuah menjadi kenyataan. Buktinya, sekarang tidak sulit menemukan orang yang ditolak di rumah sakit karena tak punya biaya, atau bahkan menemukan orang yang untuk makan sehari-hari pun masih masih susah. Apalagi bicara soal hidup layak, upah minimum, dan aksesibilitas pendidikan.
Apa yang dimaksud merdeka 100% oleh Tan Malaka ialah mampu menentukan jalan sendiri serta mengelolah kekayaan alam dengan sumber daya kita sendiri. Sebagai hasilnya, kemakmuran dan keadilan dapat dirasakan oleh rakyat secara keseluruhan. Mungkin kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti kemerdekaan selama ini seperti kata Tan. Karena, kemerdekaan masih milik mereka yang berkuasa, dan tidak bagi mereka yang jelata. Hanya dengan merdeka 100% keadilan dapat bertahta. Merdeka!
Ditulis oleh: Muhammad Takbir Malliongi (Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM 2017)