oleh Sardiman
Stunting bukan istilah asing lagi di masyarakat kita dan seolah-olah masyarakat kita sudah sangat faham tentang itu. Meskipun demikian stunting masih menjadi topik perhatian di Indonesia sehingga menarik banyak pihak untuk mengulasnya, dan tidak ketinggalan pula menjadi bahan pada saat debat Calon Wakil Presiden pada minggu 17 Maret 2019.
Terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah stunting ini, angka stunting di Indonesia masih sangat tinggi yaitu sebesar 30,8 persen dari total jumlah balita (Riskesdas, 2018). Angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan standar WHO yaitu 20 persen, walaupun prevalensi di Indonesia sudah mengalami penurunan dari 37,2 persen di tahun 2013. Menurut WHO, Indonesia masuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara tahun 2005-2017.
Stunting adalah kondisi di mana tinggi badan balita jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan seusianya. Untuk bayi dibawah usia 12 bulan, tinggi badan disebut panjang badan, karena diukur dalam posisi terlentang atau berbaring. Pemantauan panjang badan ini menjadi penting karena pencegahan stunting sebaiknya dilakukan sedini mungkin yang mana stunting itu sendiri merupakan masalah gizi kronik yang terjadi sejak di dalam kandungan hingga masa awal anak lahir dan biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Kenyataan di masyarakat, masih banyak yang sangat asing dengan istilah panjang badan. Ibu-ibu saat posyandu biasanya hanya menanyakan berat badan bayinya dan sangat jarang sekali kita mendengarkan yang menanyakan tinggi badan apalagi panjang badan bayinya. Kadang-kadang petugas kesehatan juga kurang begitu peduli dengan panjang badan bayi, terutama di daerah-daerah terpencil. Jangankan menyiapkan alat untuk mengukur panjang badan dan tinggi badan, untuk menimbang berat badan bayi saja masih banyak menggunakan timbangan barang yang tentunya keakuratannya tidak sebaik timbangan bayi.
Coba kita perhatikan poster-poster atau leaflet promosi kesehatan yang dikeluarkan oleh instansi kesehatan tentang pemantauan status gizi bayi, sebagian besar hanya mempromosikan pentingnya penimbangan berat badan. Ditambah lagi pada Kartu Menuju Sehat (KMS) yang notabenenya adalah untuk memantau perkembangan bayi setiap bulannya, tidak disiapkan kolom untuk pemantauan panjang badan atau tinggi badan.
Bagaimana kita mau menurukan angka stunting di masyarakat ketika kewaspadaan kita terhadap tanda dan gejala tidak baik?. Bagaimana kita bisa mengetahui bayi kita berada pada posisi tinggi badan atau panjang badan sesuai dengan usianya ketika kita tidak rutin mengukur tinggi badan atau panjang badannya?. Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus ikut membantu pemerintah mempromosikan pentingnya pengukuran panjang badan kepada masyarakat.