Kajian Kastrat #1: Indonesia dalam konstelasi politik internasional

Konstelasi politik internasional didefinisikan sebagai sebuah bentuk bangunan politik atau keadaan perkembangan kehidupan politik dunia. Konstelasi politik internasional tidak lepas dari pengaruh Blok Barat dan Blok Timur dimana ciri-ciri Blok Barat menganut faham liberalis-kapitalis, sedangkan Blok Timur menganut faham sosialis-komunis. Sejak berakhirnya Perang Dingin, terdapat dua isu global yang menentukan dalam konteks hegemoni merupakan determinan eksternal dari kebijakan luar negeri masing-masing negara, yaitu siapa yang akan menggeser posisi dominan AS sebagai negara adikuasa berdasarkan teori “long-cycle”. China adalah contender yang paling mungkin karena negara ini memenuhi seluruh persyaratan kuantitatif dan kualitatif untuk menjadi sebuah hegemoni yang baru. China yang saat ini menerapkan jurus crouching tiger dan perfeksi dari Art of War yang dikembangkan oleh Sun Tzu dengan seksama menghindari konflik terbuka dengan AS. Untuk menjinakkan China, AS tentu tidak ingin Indonesia sebagai salah satu kawan tradisionalnya di Asia Tenggara menjadi weakest link dari kompleks pertahanan yang menopang hegemoni AS di Asia Pasifik itu, atau terpental ke dalam dalam orbit China.

Dalam hal ini, dimanakah Indonesia berdiri? Indonesia menyadari bahwa dirinya ialah bagian konstelasi global dengan segala dinamikanya. Lebih jauh, frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia’ itu sebenarnya menyiratkan bahwa RI harus menyadari posisinya dalam konstelasi dunia, baik dalam konsepsi ruang, konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara), konsepsi kekuatan politik, dan konsepsi keamanan negara. Indonesia menyadari bahwa dirinya ialah bagian konstelasi global dengan segala dinamikanya. Lebih jauh, frasa ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia’ itu sebenarnya menyiratkan bahwa RI harus menyadari posisinya dalam konstelasi dunia, baik dalam konsepsi ruang, konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara), konsepsi kekuatan politik, dan konsepsi keamanan negara. Bebas artinya kita bebas menentukan sikap dan pandangan kita terhadap masalah-masalah internasional dan terlepas dari ikatan kekuatan-kekuatan raksasa dunia secara ideologis bertentangan (Timur dengan komunisnya dan Barat dengan liberalnya). Sedangkan Aktif artinya Indonesia dalam politik luar negeri senantiasa aktif memperjuangkan terbinanya perdamaian dunia. Aktif memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan, aktif memperjuangkan ketertiban dunia, dan aktif ikut serta menciptakan keadilan sosial dunia.
Landasan politik bebas aktif luar negeri Indonesia terdiri dari 3, yakni landasan idiil, structural, dan operasional. Landasan idiil terdiri dari Pancasila, landasan structural terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang tercantum dalam Pasal 11 dan 13, sedangkan landasan operasional merupakan penjabaran dari landasan idiil dan structural, yakni terdapat pada GBHN, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Keputusan Presiden.

Di komunitas Internasional, satu-satunya kehormatan Indonesia terletak pada perannya yang besar terhadap inisiatif dan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Deklarasi Asia Afrika atau lebih dikenal Dasa Sila Bandung. Hal ini dipicu karena kesegaraman pemikiran diantara Negara-negara berkembang di wilayah Asia dan Afrika bahwa model pembangunan negara-negara Asia Afrika yang pada tahun-tahun berikutnya dinilai lebih banyak mengadopsi neoliberalisme yang bertumpu diatas eksploitasi sumber daya tanpa batas. Negara berkembang harus melawan dengan optimalisasi keragaman ideologi, politik, budaya, dan ekonomi sehingga menjadikannya sebagai sumber bagi kemakmuran. Revalisasi dokumen Dasasila Bandung harus dijadikan momentum kebangkitan dan mengimplementasikannya dalam berbagai model pembangunan alternatif di negara-negara Asia Afrika. Dasasila Bandung harus menjadi world heritage humanity.

Indonesia memiliki posisi strategis yang cukup netral untuk bermain di antara kubu AS dan kubu China. Proyek pembangunan infrastruktur yang sedang gencar-gencarnya dilakukan sekarang mayoritas merupakan investasi dari China, sedangkan pendiktean AS terhadap Indonesia juga juga sangat dominan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan tambang asal AS yang berinvestasi di Indonesia, seperti Exxon Mobil, dan Chevron serta beberapa Undang-Undang (UU No. 22/2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi serta UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air) yang pembuatannya dibiayai oleh USAID dan World Bank. Selain itu, Indonesia sebagai salah satu Negara dengan populasi penduduk Muslim terbanyak di dunia juga punya bargaining position yang cukup menguntungkan terkait dengan perjanjian-perjanjian antara Negara-negara Islam di dunia meskipun hanya sebatas memberikan rekomendasi.

Indonesia perlu memahami politik Internasional yang meliputi gejala, isu dan dinamikanya dari sudut pandang yang lebih variatif agar tidak terjebak ke dalam Blok Barat maupun Blok Timur. Pendekatan alternatif sangat memungkinkan munculnya analisis baru yang lebih menyegarkan dan bisa membangun konstruksi yang lebih menawarkan solusi bagi pembuatan kebijakan di tingkat negara atau aktor politik Internasional yang lain.
Kesadaran penuh terkait posisi suatu Negara dalam konstelasi dan politik internasional sangat penting untuk dimiliki, agar sebuah Negara lebih memiliki ketahanan Negara yang mantap dan memiliki power untuk mempengaruhi Negara lain. Dan yang tidak boleh dilupakan oleh sebuah Negara untuk dapat mempengaruhi Negara lain dibutuhkan sebuah ideologi yang bersifat independen, paripurna (menyeluruh dalam segala aspek aturan kehidupan) dan juga dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata, bukan hanya sebuah angan-angan belaka tanpa sebuah aplikasi. Ideologi tersebut mampu diterapkan dan disebarkan ke seluruh dunia, dan yang terpenting ideologi tersebut haruslah sebuah ideologi yang benar yang jika diterapkan akan mampu menciptakan kemaslahatan bagi keseluruhan masyarakat dunia.

Bidang Kajian Strategis
Himpunan Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
2019

Tags: HMP UGM

Accessibility Toolbar